Posisi Indonesia yang strategis dan terletak di antara dua benua dan dua samudera, bukan isapan jempol. Namun para elit dan pengambil kebijakan dalam Masterplan Percepatan, Perluasan dan Peningkatan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tidak tahu bagaimana mengaplikasikanya.
Dibandingkan dengan Iran yang hanya memiliki selat Hormuz tetapi mampu membuat “geger” dunia dengan ancaman akan menutup selat tersebut. Atau Suriah misalnya, meskipun minyaknya tidak sekaya Libya, Irak dan lainnya, namun tetap diperebutkan para adidaya karena posisinya yang strategis. Retorikanya bagaimana seandainya Selat Lombok, Selat Sunda atau selat-selat lainnya ditutup selama sebulan untuk latihan gabungan TNI/Polri dalam rangka memerangi terorisme perairan ? Hehehe.
Banyak negara yang bergantung pada selat dan perairan Indonesia seperti Australia, New Zeland, Singapura, Malaysia, China, Korea, Jepang bahkan negara-negara heartland karena terkait distribusi dan transportasi minyak. Konon 80 % APBN Australia sangat tergantung dengan perairan Indonesia, bahkan Singapura 85 % APBN mereka tergantung dengan perairan kita.
Terkait program MP3EI sudah selayaknya faktor geopolitik menjadi acuan utama dalam pengambilan kebijakan. Artinya jika tidak berpijak pada geopolitik dan karakter wilayah perairan nusantara, dikhawatirkan malahan akan memposisikan Indonesia sebagai proxy perang ekonomi dan malah memberi kuasa kepada kepentingan asing seperti saat ini yang sedang terjadi.
Korupsi Dan Industri.
Tak dapat dipungkiri, korupsi di Indonesia sebenarnya hanya sebuah modus, tema atau tata cara dari sebuah kolonialisme model baru. Maraknya korupsi di Indonesia karena diciptakan oleh sistem serta didukung aturan dan perundang-undangan yang dirombak pada awal reformasi dahulu.
Ketika sistem yang kini berjalan justru mendorong perilaku koruptif seperti otonomi daerah, multi partai, ona man one vote dan lain sebagainya, maka berapa pun dibentuk lembaga “superbody” seperti KPK tidak akan mampu membendung perilaku koruptif.
Sejarah membuktikan bahwa kemajuan suatu negara diawali dari revolusi industri, revolusi industri membuat rakyat terpapar namun rakyat diuntungkan pada satu sisi. Sangat berbeda dengan korupsi, selain negara dan rakyat “terkapar” dirugikan, korupsi merupakan sisi gelap sekaligus potret memalukan sebuah bangsa di hadapan bangsa lain.
Inti revolusi industri adalah kebebasan warga negara berekspresi memenuhi kebutuhanya sedangkan peran negara bersifat melindungi, mengarahkan dan mengawasi. Selanjutnya setelah hasil dari dinamika warga tersebut diekspor, baru negara mengenakan pajak, dan sudah menjadi keharusan bagi negara untuk “memberi” modal dan fasilitas juga mencarikan pasar bagi komoditi yang dihasilkan oleh karya warganya. Aesensi dari revolusi industri ialah menghindari jerat ketergantungan di segala bidang baik pangan, energi, teknologi dan lain-lain.
Kita adalah bangsa yang besar dan mampu untuk maju hanya saja saat ini kita masih terbelenggu oleh “rantai” sistem ciptaan asing!.
Dibandingkan dengan Iran yang hanya memiliki selat Hormuz tetapi mampu membuat “geger” dunia dengan ancaman akan menutup selat tersebut. Atau Suriah misalnya, meskipun minyaknya tidak sekaya Libya, Irak dan lainnya, namun tetap diperebutkan para adidaya karena posisinya yang strategis. Retorikanya bagaimana seandainya Selat Lombok, Selat Sunda atau selat-selat lainnya ditutup selama sebulan untuk latihan gabungan TNI/Polri dalam rangka memerangi terorisme perairan ? Hehehe.
Banyak negara yang bergantung pada selat dan perairan Indonesia seperti Australia, New Zeland, Singapura, Malaysia, China, Korea, Jepang bahkan negara-negara heartland karena terkait distribusi dan transportasi minyak. Konon 80 % APBN Australia sangat tergantung dengan perairan Indonesia, bahkan Singapura 85 % APBN mereka tergantung dengan perairan kita.
Terkait program MP3EI sudah selayaknya faktor geopolitik menjadi acuan utama dalam pengambilan kebijakan. Artinya jika tidak berpijak pada geopolitik dan karakter wilayah perairan nusantara, dikhawatirkan malahan akan memposisikan Indonesia sebagai proxy perang ekonomi dan malah memberi kuasa kepada kepentingan asing seperti saat ini yang sedang terjadi.
Korupsi Dan Industri.
Tak dapat dipungkiri, korupsi di Indonesia sebenarnya hanya sebuah modus, tema atau tata cara dari sebuah kolonialisme model baru. Maraknya korupsi di Indonesia karena diciptakan oleh sistem serta didukung aturan dan perundang-undangan yang dirombak pada awal reformasi dahulu.
Ketika sistem yang kini berjalan justru mendorong perilaku koruptif seperti otonomi daerah, multi partai, ona man one vote dan lain sebagainya, maka berapa pun dibentuk lembaga “superbody” seperti KPK tidak akan mampu membendung perilaku koruptif.
Sejarah membuktikan bahwa kemajuan suatu negara diawali dari revolusi industri, revolusi industri membuat rakyat terpapar namun rakyat diuntungkan pada satu sisi. Sangat berbeda dengan korupsi, selain negara dan rakyat “terkapar” dirugikan, korupsi merupakan sisi gelap sekaligus potret memalukan sebuah bangsa di hadapan bangsa lain.
Inti revolusi industri adalah kebebasan warga negara berekspresi memenuhi kebutuhanya sedangkan peran negara bersifat melindungi, mengarahkan dan mengawasi. Selanjutnya setelah hasil dari dinamika warga tersebut diekspor, baru negara mengenakan pajak, dan sudah menjadi keharusan bagi negara untuk “memberi” modal dan fasilitas juga mencarikan pasar bagi komoditi yang dihasilkan oleh karya warganya. Aesensi dari revolusi industri ialah menghindari jerat ketergantungan di segala bidang baik pangan, energi, teknologi dan lain-lain.
Kita adalah bangsa yang besar dan mampu untuk maju hanya saja saat ini kita masih terbelenggu oleh “rantai” sistem ciptaan asing!.
Sumber : JKGR
0 comments:
Post a Comment