Pengajar Universitas Padjajaran, Teuku
Rezasyah, mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk berhati-hati
menyikapi keterlibatan negara asing dalam operasi evakuasi bangkai dan
jasad penumpang pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di perairan Selat
Karimata. Sebab, menurut Reza, terlibatnya pihak asing dalam misi
kemanusiaan, rentan disusupi motif tersembunyi.
Demikian ungkap Reza yang dihubungi VIVAnews pada Selasa, 6
Januari 2015 melalui telepon. Pria yang juga kakak Duta Besar RI untuk
Kanada itu tidak menepis dengan hidup di era globalisasi seperti saat
ini, tiap negara harus bermitra. Dalam kasus jatuhnya pesawat tipe
Airbus A320-200, paling tidak, masing-masing negara bisa bersimpati
dengan menunjukkan rasa bela sungkawa.
"Namun, lautan Indonesia ini kan strategis. Sulit dikatakan jika
mereka hanya ingin menunjukkan rasa solidaritas kepada Indonesia,"
ungkap Reza.
Setidaknya ada tiga motif tersembunyi dengan adanya keterlibatan
asing di misi kemanusiaan ini. Mulai dari unjuk kekuataan alutsista
masing-masing negara, eksplorasi laut dan menjadikan misi pencarian ini
sebagai ajang berlatih.
Analisa Reza tidak sepenuhnya keliru, sebab sembilan dari 12 negara
yang ikut dalam misi SAR gabungan, mengerahkan alutsista terbaiknya.
"Forum ini bisa dijadikan untuk ajang berjualan. Paling tidak
mendorong otoritas pertahanan di Indonesia untuk membeli," ujarnya.
Alutsista milik Amerika Serikat dan Rusia sejak awal telah memukau
petinggi TNI. Negeri Paman Sam mengerahkan dua kapal perang yakni USS
Sampson dan Fort Worth, sedangkan Rusia mengirim pesawat jet amfibi
Beriev (BE)-200.
Rumor beredar kencang bahwa Pemerintah RI sudah melirik BE-200
untuk digunakan demi kepentingan perlindungan maritim di Indonesia.
Sementara, eksplorasi laut dilakukan dengan membuat pemetaan
situasi bawah air di sepanjang Laut Jawa hingga ke perairan Selat
Karimata. Terlebih, di bawah Laut Jawa itu banyak terpendam bangkai
pesawat dan kapal yang digunakan di era Perang Dunia II.
"Mereka bisa menggunakan perangkat-perangkat di laut dangkal atau
wilayah tropis. Jadi, secara tidak langsung, negara asing yang terlibat
bisa melakukan pemetaan hidrografis untuk kepentingan penyelaman," kata
dia.
Motif ketiga, lanjutnya, pihak asing bisa belajar cara Basarnas
berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk TNI. Melalui misi ini,
mereka juga belajar latihan penyelaman dan pengerahan kapal.
"Ibaratnya mereka menjadikan misi ini ibarat laboratorium, karena proses evakuasi diprediksi akan berlangsung lama," imbuh dia.
Kerahkan Intel
Oleh sebab itu, Reza menyarankan agar TNI ikut mengawasi pergerakan
mereka. Pangkoops Angkatan Udara, Marsekal Muda, Agus Dwi Putranto
dalam wawancara dengan tvOne telah menyatakan TNI menyiagakan
intelijen untuk mengawasi semua pergerakan kapal, helikopter dan pesawat
negara asing di lokasi pencarian AirAsia.
Namun, yang menjadi pertanyaan bagi Reza, apakah TNI memiliki peralatan yang mumpuni untuk mengawasi mereka.
"Sebab, rata-rata alutsista yang digunakan negara asing sudah jauh
melampaui peralatan kita. Lalu, bagaimana kita tahu, misalnya jika
memasang radar bawah laut yang mampu tidak terdeteksi oleh sonar?,"
tanya Reza.
Maka, Reza berharap kepada Basarnas, agar di misi selanjutnya,
tidak lagi terlalu terbuka terhadap bantuan asing. Basarnas, lanjut
Reza, bahkan bisa menolak bantuan asing itu tanpa merusak hubungan
bilateral kedua negara.
"Idealnya kan misi ini dikerjakan oleh Basarnas saja dan tidak
didampingi pihak luar. Menurut saya, jauh lebih netral jika negara asing
dilibatkan dalam proses identifikasi jenazah dan bukan operasi
evakuasi," kata dia.
Lagipula, lanjut Reza, kemampuan Basarnas Indonesia telah diakui dunia.
Momentum ini, ujarnya, juga bisa digunakan oleh Presiden Joko
Widodo dalam membenahi intelijen RI. Reza menyarankan agar anggaran
Badan Intelijen Negara (BIN) ditambah, agar kemampuannya kian mumpuni.
Sumber: Viva
0 comments:
Post a Comment