Kehadiran tank Leopard tetap dibutuhkan Indonesia guna perimbangan kekuatan, kata analis Universitas Pertahanan Indonesia Dr Rajab Ritonga.
"Intinya, pembelian seperti Leopard tersebut sudah tepat, karena tank sejenis sudah dimiliki Singapura, Malaysia. Hanya Indonesia, Filipina, dan Timor Leste yang tidak punya Main Battle Tank (MBT), Australia dan marinir AS di Darwin pun menggunakan," katanya di Jakarta, Selasa.
Dosen Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia itu mengemukakan bahwa perlu tidak perlu, harus mempertimbangkan konstelasi perimbangan teknologi persenjataan.
"Jadi, memang kita harus punya, dan itu juga menjadi kebanggaan, karena prajurit kavaleri TNI (sebelum ada Leopard, red.) tidak sebanding dengan negara tetangga," katanya.
Ia menilai kehadiran tank Leopard penting, seperti di Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, di mana sebelumnya MBT Malaysia bukan tandingan tank yang dimiliki TNI.
"Sebelum ada tank Leoprad, kita cuma punya tank Scorpion, yang beratnya cuma 15 ton, dibanding MBT tank Leopard yang memiliki berat 60 ton, jadi ada bandingannya," kata Rajab Ritonga yang alumnus Master of Science (MSi) Kajian Ketahanan Nasional dari UI pada 2001 itu.
Menurut dia, kekuatan Indonesia menjadi signifikan dengan alat utama sistem persenjataan (alutsista) itu.
"Karena bagaimanapun juga bisa membuat efek penggentar bagi negara-negara lain yang tidak berniat baik dengan Republik Indonesia," katanya.
Ia mengatakan jika dibeli sesuai anggaran, jumlahnya hanya bisa mencapai sekitar 40 tank.
Namun, katanya, karena Kepala Staf TNI-AD saat itu, Jenderal Pramono Edhi Wibowo, memiliki kebijakan dengan "G to G" (antarpemerintah), maka jumlahnya bertambah menjadi hampir 150 tank Leopard.
"Jadi, pada masa Kasad dijabat Pramono Edhi Wibowo, kebiasaan melalui 'broker' dipangkas sehingga menjadi efisien," katanya.
Oleh karena itu, Rajab melibat bahwa pernyataan mantan Presiden B.J. Habibie yang mengkritik keputusan Kementerian Pertahanan membeli tank Leopard karena tidak cocok sebagai alutsista Indonesia, bukan untuk dibantah.
Habibie menilai bahwa tank Leoprad hanya untuk negara padang pasir, dan bukan negara maritim, termasuk beratnya yang mencapai 60 ton bisa merusak jembatan yang dilalui.
"Barangkali Pak Habibie belum mendapat informasi yang pas," katanya.
Mengenai jalan-jalan kota besar yang rusak jika dilalui tank Leoprad, ia menyatakan bahwa fungsi tank itu bukan hanya di padang pasir, tapi juga bisa dipakai di daratan dan hutan.
Ia mengatakan bahwa hal itu sudah dibuktikan pada parade HUT TNI di Halim Perdana Kusuma yang tidak rusak dan juga pada pameran alutsista di Monas.
"Intinya, pembelian seperti Leopard tersebut sudah tepat, karena tank sejenis sudah dimiliki Singapura, Malaysia. Hanya Indonesia, Filipina, dan Timor Leste yang tidak punya Main Battle Tank (MBT), Australia dan marinir AS di Darwin pun menggunakan," katanya di Jakarta, Selasa.
Dosen Universitas Pertahanan (Unhan) Indonesia itu mengemukakan bahwa perlu tidak perlu, harus mempertimbangkan konstelasi perimbangan teknologi persenjataan.
"Jadi, memang kita harus punya, dan itu juga menjadi kebanggaan, karena prajurit kavaleri TNI (sebelum ada Leopard, red.) tidak sebanding dengan negara tetangga," katanya.
Ia menilai kehadiran tank Leopard penting, seperti di Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, di mana sebelumnya MBT Malaysia bukan tandingan tank yang dimiliki TNI.
"Sebelum ada tank Leoprad, kita cuma punya tank Scorpion, yang beratnya cuma 15 ton, dibanding MBT tank Leopard yang memiliki berat 60 ton, jadi ada bandingannya," kata Rajab Ritonga yang alumnus Master of Science (MSi) Kajian Ketahanan Nasional dari UI pada 2001 itu.
Menurut dia, kekuatan Indonesia menjadi signifikan dengan alat utama sistem persenjataan (alutsista) itu.
"Karena bagaimanapun juga bisa membuat efek penggentar bagi negara-negara lain yang tidak berniat baik dengan Republik Indonesia," katanya.
Ia mengatakan jika dibeli sesuai anggaran, jumlahnya hanya bisa mencapai sekitar 40 tank.
Namun, katanya, karena Kepala Staf TNI-AD saat itu, Jenderal Pramono Edhi Wibowo, memiliki kebijakan dengan "G to G" (antarpemerintah), maka jumlahnya bertambah menjadi hampir 150 tank Leopard.
"Jadi, pada masa Kasad dijabat Pramono Edhi Wibowo, kebiasaan melalui 'broker' dipangkas sehingga menjadi efisien," katanya.
Oleh karena itu, Rajab melibat bahwa pernyataan mantan Presiden B.J. Habibie yang mengkritik keputusan Kementerian Pertahanan membeli tank Leopard karena tidak cocok sebagai alutsista Indonesia, bukan untuk dibantah.
Habibie menilai bahwa tank Leoprad hanya untuk negara padang pasir, dan bukan negara maritim, termasuk beratnya yang mencapai 60 ton bisa merusak jembatan yang dilalui.
"Barangkali Pak Habibie belum mendapat informasi yang pas," katanya.
Mengenai jalan-jalan kota besar yang rusak jika dilalui tank Leoprad, ia menyatakan bahwa fungsi tank itu bukan hanya di padang pasir, tapi juga bisa dipakai di daratan dan hutan.
Ia mengatakan bahwa hal itu sudah dibuktikan pada parade HUT TNI di Halim Perdana Kusuma yang tidak rusak dan juga pada pameran alutsista di Monas.
Sumber : Republika
0 comments:
Post a Comment