Intelijen sebagai mata dan telinga negara, memiliki peranan sangat penting, khususnya untuk kepentingan nasional dalam menjaga stabilitas dan mengendus suatu ancaman sedini mungkin. Dahulu saat perang dingin masih berlangsung antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat, operasi intelijen secara besar-besaran namun tertutup, digelar di tiap-tiap wilayah lawan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing sasarannya.
Keberadaan AS dengan CIA-nya sering tercium di beberapa Negara kawasan yang menjadi bidikannya. Khususnya saat AS berusaha membendung kekuatan komunis di Asia Tenggara keberadaan CIA terasa memasuki ke semua elemen pemerintahan termasuk Uni Soviet. Ada pepatah yang mengatakan bila ingin menghancurkan sebuah Negara bersama kekuatannya maka hancurkan intelijennya terlebih dahulu. Dengan begitu Negara sasaran akan menjadi buta dan mandul sehingga bisa ditaklukkan dan dikuasai dengan mudah.
Di indonesia sendiri saat ini kita telah memiliki 5 (Lima) institusi Intelijen yaitu BIN, BAIS (TNI), BIK (Polri), Intelijen Kehakiman/Jaksa dan Intelijen Imigrasi/Bea Cukai yang mempunyai tugas pokok dan tanggung jawabnya masing-masing.
Dibentuknya intelijen bukanlah tidak ada maksud akan tetapi berguna untuk melakukan kontra intelijen di bidang ipoleksosbudhankam. Kita sadari bahwa sampai dengan 25 tahun yang akan datang kemungkinan perang secara terbuka/ konvensional ada terindikasi akan terjadi, namun demikian perang secara tertutup (intelijen) khususnya politik, ekonomi, sosial dan budaya sesungguhnya sudah dimulai dan akan menghantui kita.
Sebagai contoh Tanpa disadari perang nubika (Nuklir, Biologi dan Kimia) sudah mulai dibuka dengan mengggunakan senjata biologi secara tertutup melalui bahan makanan seperti; keracunan massal, perusakan lingkungan, wabah penyakit hewan yang menjalar ke manusia, perang narkoba dsb. Semuanya itu merupakan rekayasa negara lain yang menyerang negara Indonesia. Hal ini dilakukan untuk melemahkan negara Indonesia di bidang kesehatan, yang berdampak terhadap keseluruhan kepentingan terutama regenerasi dan lingkungan.
Intelijen yang kita miliki perlu diatur untuk menjaga stabilitas negara dari kepentingan dalam maupun luar negeri. Intelijen yang kita miliki terlihat saling tumpang tindih antara satu dengan yang lain sehingga sangat telat untuk melakukan kontra intelijen yang berasal dari luar sedangkan intelijen kita sibuk hanya menangani kepentingan dalam negeri dan sangat mudah didikte negara asing.
Semenjak berpisahnya TNI dengan Polri maka keamanan dalam negeri diambil alih oleh Polri demikian juga dengan RUU TNI terbaru yang sampai saat ini belum diselesaikan, membuat intelijen TNI dalam hal ini BAIS TNI seolah berpangku tangan karena belum memiliki legitimasi hukum melakukan penanganan dan bantuan kepada Polri maupun BIN.
Akan tetapi apabila terjadi serangan teroris masyarakat akan menyoroti masalah intelijen yang tidak mampu melakukan deteksi dini dan cegah dini, di sisi lain intelijen belum dipayungi hukum untuk melakukan tugasnya sehingga tugas yang dilakukan terkesan setengah hati dan tidak maksimal cenderung takut terlibat kasus HAM. Dengan demikian untuk penanganan yang bersifat “area abu-abu” harus dikerjakan bersama-sama dengan mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan institusi.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kecanggihan sekarang ini BAIS selaku institusi Intelijen dibawah bendera TNI diminta untuk selalu meningkatkan kemampuannya agar memiliki daya tangkal yang baik dan mampu melakukan deteksi dan cegah dini terhadap setiap ancaman secara tepat dan akurat.
Sesuai dengan amanat UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, BAIS memiliki tugas pokok dalam menyelenggarakan kegiatan dan operasi intelijen strategis serta pembinaan kekuatan dan kemampuan intelijen strategis dalam mendukung tugas pokok TNI. Bila di lihat dari ancaman spektrum yang ada maka bisa dikatakan tugas dari BAIS lebih berat.
Ancaman tersebut bisa dikategorikan menjadi dua jenis yaitu ancaman tradisional dan non tradisional. Meskipun begitu BAIS sebagai lembaga intelijen strategis harus bisa dan mampu menjadi yang terdepan dalam menjalankan tugasnya untuk menyiapkan intelijen strategis. Struktur pengorganisasian TNI yang lengkap dan memiliki jaringan intelijen yang sangat baik hingga tingkat desa sangat berpotensi dalam mendeteksi setiap ancaman yang ada.
Sebagai contoh saat Pemerintah AS meluncurkan program pendidikan bahasa Inggris, English Access Micro-scholarship Program (EAMP), kepada warga Papua. Program yang merupakan hasil kerja sama PT Freeport Indonesia, Kedubes AS, Learning Partnerships dan Universitas Cenderawasih ini, diresmikan oleh Wakil Dubes AS, Thed Osius, yang berkunjung ke Papua pada 20 Januari 2010 lalu.
Empat hari setelah kunjungan Osius (24/1/2010), keamanan di Papua kembali memanas. Sekelompok orang tidak dikenal menyerang karyawan PT Freeport Indonesia. Serangan ini menyebabkan korban luka beberapa aparat anggota kepolisian dan karyawan perusahaan tambang emas swasta milik AS tersebut.
Hasil data intelejen menyatakan kunjungan Osius sebagai bagian dari propaganda untuk lebih menancapkan eksistensi AS di Papua. Sekarang ini AS menerapkan politik dua kaki di Papua. “Satu pihak mendukung kelompok OPM yang ingin lepas dari NKRI. Pada pihak lain mendukung Papua masuk wilayah NKRI”, Indonesia musti bersikap hati-hati terhadap kebijakan AS di Papua. Sebagai contoh program pendidikan yang digulirkan AS dengan PT Freeport. “Program pendidikan bahasa Inggris ini hanya lip servis yang bertujuan memberikan citra positif AS. Padahal berapa keuntungan yang diperoleh AS mengeruk Freeport selama ini”,
Sejatinya pemerintah Indonesia juga membuat beberapa program unggulan untuk menarik warga Papua. Tapi sayangnya dana program-program yang dikucurkan itu banyak yang dikorupsi pejabat.
Tentang situasi papua yang kian memanas banyak pihak yang menuding bahwa terdapat kegiatan intelijen asing yang bermain di bumi cendrawasih. Dengan menggunakan berbagai kedok seperti LSM, Lingkungan hidup dan lain sebagainya, asing dapat leluasa memainkan perannya untuk menggoncang papua agar terangkat ke panggung internasional untuk dijadikan perhatian publik. Dengan begitu agenda mereka untuk membuat papua terlepas dari NKRI dapat berjalan dengan baik dengan dukungan PBB melalui referendum papua.
Pemain utama dibalik layar tentang “pementasan” papua sudah dapat ditebak, siapa lagi kalau bukan negara yang memiliki kepentingan terhadap hasil bumi papua yang kaya akan hasil tambang dan SDAnya untuk digunakan sebagai penopang ekonomi negaranya seperti Amerika Serikat (AS) dengan Freeport. Soal memanasnya kembali keamanan di Freeport, dan kita mencurigai pihak AS yang melakukan dengan memanfaatkan OPM.
Selain itu sebagai contoh lainnya, setelah aksi penyergapan dan pengungkapan kelompok teroris di Aceh, Pamulang, Poso dan beberapa daerah lain di Indonesia oleh pihak kepolisian, yang salah satunya berhasil menewaskan Dulmatin, apakah terorisme di Indonesia akan akan berhenti? Melihat fakta fenomenalnya, masih besar kemungkinannya aksi teror terus berlangsung.
Beberapa pengamat terorisme dan pengamat intelijen berpendapat, potensi aksi teror masih cukup besar di Indonesia. Hal ini bisa jadi karena memang ada target dari jaringan teroris dan ada sekenario tertentu terkait aksi teror di Indonesia oleh pihak asing.
Pendapat Pak Mardigu, misalnya mengatakan teroris telah membuat range target. Empat diantaranya adalah : pertama, Kepala Negara. kedua, pemimpin pilar bangsa. ketiga, pemboman atau penyerangan instalasi penting dan keempat, penyerangan kedutaan besar asing di Indonesia. Pengamat teroris ini melihat, aksi teror di Indonesia adalah bukan bagian dari rekayasa atau “proyek teror”.
Namun berbeda dengan Pak Mardigu, berdasarkan analisis dan informasi yang ada pengamat intelijen AC Manullang menyimpulkan bahwa “teroris Pamulang” dan “teroris Aceh” merupakan bagian dari permainan Amerika Serikat. Semuanya diarahkan sebagai bukti bahwa di Indonesia masih eksis kelompok-kelompok teroris. Manullang melihat AS ingin memojokkan Indonesia dengan mempersepsikan kondisi keamanan di Indonesia adalah semu. Target operation deception yang dilakukan CIA tidak lain adalah Muslim civilisation, peradaban Islam.
Sementara menurut pendapat pihak Kepolisian kita, teroris Aceh dan Pamulang itu terkait dengan keinginan pembentukan Negara Islam Indonesia (NII) dan Daulah Islam Asia Tenggara. Jaringan teroris ini ingin menjadikan Aceh sebagai basisnya. Kesimpulan pemeriksaan sementara pihak kepolisian ini didasarkan pengakuan beberapa tersangka teroris yang tertangkap. Secara historis, ideologis dan geopolitik kesimpulan polisi tersebut mendapat penguatan dari Al Chaidar. Pengamat NII ini melihat ada faksi-faksi NII yang berinteraksi dan bersinergis dengan jaringan teroris. Mereka berkeinginan menjadikan Aceh sebagai basis gerakan, karena dipandang sebagai wilayah yang aman (qoidah aminah). Selain Aceh ada juga Lombok.
Dengan kesimpulan itu, sudah jelas, akan ada target selanjutnya dalam perburuan teroris di Indonesia. Bahkan untuk memantapkan aksi kontra teror itu mulai ada “titik temu” antara Polri dan TNI. Hal ini dapat dilihat dari latihan gabungan anti teror yang digelar bersama oleh kedua institusi ini dibeberapa tempat di Indonesia.
Sebagai contoh lagi Indonesia perlu mewaspadai prediksi yang memungkinkan terjadinya Perang Pasifik II dan Perang di LCS. (jadi inget Mbah Bowo). “Pada tingkatan regional Asia Pasifik, tampak jelas bahwa betapa hegemoni Amerika Serikat semakin menurun, dan membuat sejumlah negara Asia Pasifik, seperti China, India, dan Australia serta beberapa negara ASEAN semakin memperkuat kapabilitas pertahanan yang cukup tinggi,” Bahkan dalam Buku Putih Pertahanan Asutralia tahun 2009, sudah mengisyaratkan kesiapannya untuk membangun kekuatan pertahanan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya Perang Pasifik II pada tahun 2030.
Negara-negara tersebut telah memiliki rencana strategis pembangunan militer dan cenderung membeli alutsista untuk tujuan-tujuan ofensif, seperti kapal induk, kapal selam, kapal perusak, dan pesawat tempur. “Jika Indonesia tidak siap untuk membendung potensi ini, maka hal yang paling ditakutkan bisa saja terjadi,” hal ini sudah menjadi konsekuensi dari perubahan arsitektur dunia yang baru.
China rupanya punya bukti kuat bahwa Amerika Serikat dan Korea Selatanlah yang memicu ketegangan di Semenanjung Korea setelah keduanya memutuskan untuk melakukan latihan militer gabungan di Laut Kuning. Pantaslah China diam saja terhadap aksi Korea Utara yang menembakkan artilerinya ke beberapa daerah di Korea Selatan.
Ada beberapa laporan intelejen yang mengatakan bahwa ketegangan di Semenanjung Korea bukanlah antara Korea Utara dan Korea Selatan, melainkan antara Amerika dan China. Hal itu karena tuntutan AS terhadap China agar menaikkan nilai mata uangnya, Yuan, terhadap dolar. Akan tetapi China dengan keras menolak tuntutan tersebut dengan alasan bahwa masalah tersebut bukan masalah China, melainkan masalah dalam negeri Amerika. Akibatnya neraca perdagangan Amerika mengalami defisit terhadap China. Amerika lalu mengubah perlakuannya menjadi perlakuan bersahabat, jauh dari perlakuan agresif. Akan tetapi China tidak mengubah sikapnya, bahkan tetap bersikeras dengan kebijakannya, termasuk kebijakan mereka di LCS.
Karena itu Amerika lalu mencetak uang ratusan juta dolar untuk menaikkan kurs mata uang China. Amerika berhasil melakukannya dan berimbas juga kepada mata uang Rupiah kita tetapi Amerika menghadapi masalah inflasi keuangan di dalam negerinya sendiri dan perekonomiannya bertambah lemah. Yang lebih sialnya atas kejadian ini, China malah bertambah kuat dalam menghadapi Amerika. Atas dasar itu, Obama kemudian menyatakan, “Amerika akan menghadapi ambisi-ambisi China bukan hanya secara regional.”
Lalu dimanakah posisi Indonesia di dalam permasalahan ini? Apakah Indonesia bersama Amerika atau China? Ataukah Indonesia mengambil sikap netral, terutama setelah Amerika Serikat mengikat perjanjian dengan Pemerintah Indonesia dalam apa yang disebut dengan “Kemitraan Komprehensif”?
Benar, krisis ini diinginkan Amerika untuk memukul China ketika China menolak keinginan Amerika. Amerika ingin menarik China ke medan Perang Korea. Kemudian Amerika hendak memukul China dengan dukungan sekutu dan antek-anteknya. Alasannya, karena China telah mengancam keamanan kawasan dan regional. Amerika telah memobilisasi beberapa negara-negara Asia untuk mengepung China termasuk kepada kita. (hayo inget enggak List Penawaran dan Pengadaan Alutsista dari AS nya Bung Narayana)
Ini tentu saja bukan permasalahan Indonesia. Karena itu Indonesia wajib tidak berdiri di sisi Amerika ataupun China, betapapun upaya Amerika atau China untuk menarik Indonesia di sisi masing-masing di antara keduanya. Sebab berada di sisi China ataupun Amerika tidak akan memberikan manfaat bagi Indonesia, baik sekarang ataupun pada masa depan. Indonesia harus menjadi kekuatan yang mandiri, memiliki kehendak yang independen, dan Indonesia memiliki potensi untuk itu. dalam hal ini Indonesia sendiri harus terus berupaya membangun tiga kekuatan, yaitu kekuatan keamanan termasuk militer, kekuatan ekonomi, dan kekuatan sosial budaya secara terus menerus dan berkesinambungan. Dimana kita bisa berperan sebagai penengah yang pada akhirnya mampu membendung prediksi Perang Pasifik II dan LCS tersebut,”
Masyarakat Indonesia tentu tidak mengharapkan kemunculan intelijen represif alias “tanpa ba-bi-bu, jedor” seperti dimasa Orde Baru. Meski demikian harapan ini tidak berarti sebaliknya yaitu menjadikan institusi intelijen negara ini lemah. Maka “Jalan tengah harus diambil”, Jalan tengah yang dimaksud adalah mengakomudir tuntutan demokratisasi, prinsip-prinsip HAM dan kewenangan yang tetap dapat memperkuat posisi BIN sebagai salah satu instrumen keamanan negara. Upaya itu sudah dilakukan dengan adanya Undang-undang No. 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara karena “Dalam keadaan dunia yang menuntut balance of power sekarang ini, maka kuncinya terletak di kekuatan Intelijen”.
NKRI harga mati!
Sumber : JKGR
0 comments:
Post a Comment