Pesawat jet Gulfstream IV dengan nomor HZ-103 milik Arab Saudi yang dipaksa TNI AU mendarat di Bandara El Tari Kupang akhirnya diizinkan melanjutkan penerbangan ke Australia. Pesawat itu didenda Rp 60 juta sebelum dilepas.
"Setelah ditahan sekitar delapan jam di Bandara El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan membayar denda, pesawat jenis Gulfstream IV dengan nomor penerbangan HZ-03 milik Arab Saudi diizinkan melanjutkan penerbangan ke Australia pada Senin, dini hari," kata Kepala Penerangan Pangkalan TNI Angkatan Udara El Tari Kupang, Kapten Sigit di Kupang, Selasa (5/11).
Menurut Sigit, pesawat tersebut dilepas setelah Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta melengkapi dokumen surat izin terbang (Flight Clearance) di wilayah Indonesia, dan membayar denda Rp 60 juta yang akan disetor ke kas negara.
"Sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Keputusan Dirjen Perhubungan Udara, pesawat dikenakan denda karena masuk wilayah NKRI tanpa izin. Semua sudah clear yakni denda dan surat izin terbang, kemudian makan malam kemudian kami lepas untuk terbang," katanya.
Urusan denda memang wewenang penyidik PNS Perhubungan Udara. TNI hanya berwenang melakukan operasi penyergapan di udara dan memaksa pesawat asing mendarat di lanud terdekat.
TNI pun kecewa berkali-kali menyergap pesawat asing dan hanya didenda Rp 60 juta. Berikut kisah seputar kekecewaan dan pesawat asing lewat di Indonesia:
1.
Operasional mahal, denda cuma Rp 60 juta
Untuk menggerakkan pesawat tempur Sukhoi saja minimal Rp 100 juta dalam satu jam terbang. Sementara denda yang diberikan hanya 60 juta rupiah.
"Sehingga sangat rugi bagi TNI AU untuk biaya operasi Sukhoi yang besar," ucap Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia di Jakarta, Rabu (11/5).
Menhan Ryamizard Ryacudu menyampaikan hal senada. Bahkan menurutnya operasional satu Sukhoi bisa mencapai Rp 400 juta. Dua pesawat berarti Rp 800 juta.
2.
"Sehingga sangat rugi bagi TNI AU untuk biaya operasi Sukhoi yang besar," ucap dia.
Dikatakannya, berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, TNI AU berwenang untuk menyidik terkait pertahanan udara. "TNI AU juga bertugas melaksanakan penegakan hukum. Jadi, berdasarkan UU, tugas penegakan hukum adalah TNI AU," tandasnya.
Kewenangan penyidikan saat ini ada di Kementerian Perhubungan. Sedangkan TNI AU melalui Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) hanya berwenang menangkap pesawat yang melintas wilayah udara Indonesia.
3. Cepat ditangkap, cepat pula dilepas
"Denda sebesar Rp 60 juta dan USD 220 dollar untuk parkir di bandara Sam Ratulangi," kata Kadispen TNI AU Marsma Hadi Tjahjanto.
Pilot dan kopilot pesawat Cessna Beechcraft C55, Jacklin Grame Paul dan Mclean Richard Wayne akhirnya dilepas Sabtu (25/10).
Selasa (28/10) pelanggaran batas wilayah udara oleh pesawat asing kembali terjadi. Kali ini sebuah pesawat sipil Singapura jenis Beechcraft 9L dengan nomor ekor VH-PFK disergap oleh dua pesawat Sukhoi 27/30 Flanker TNI AU di atas Laut China Selatan.
Namun keesokan harinya, pesawat latih Singapura ini dilepas setelah membayar denda Rp 60 juta. Ketiga crew dari pesawat Beechraft, yaitu Tan Chin Kia (Kapten Pilot), Mr Z Heng Chia (siswa), Xiang Bo Hong (siswa) akhirnya meninggalkan Lanud Supadio Pontianak setelah selesai dimintai keterangan oleh personil Intelijen, pengamanan TNI AU dan PPNS Perhubungan Udara.
Selanjutnya Pesawat jet Gulfstream IV dengan nomor HZ-103 milik Arab Saudi yang dipaksa TNI AU mendarat di Bandara El Tari Kupang juga segera dilepas setelah membayar denda Rp 60 juta. Mereka ditangkap siang, malamnya sudah dibebaskan.
4. Tak ada unsur politis
"Tidak ada aspek politik, itu kebetulan aja. Tapi ini tugas profesional TNI AU dalam menjaga kedaulatan udara NKRI," kata Marsekal Putu Dunia di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (5/11).
KSAU memaparkan alasan penyergapan pesawat asing tiga kali oleh pesawat Sukhoi itu lantaran pesawat Sukhoi tengah melakukan operasi.
"Karena yang dikejar pesawat cepat, maka hanya Sukhoi yang bisa," tuturnya.
0 comments:
Post a Comment