Total Pageviews

Monday, June 30, 2014

Penerbang F-16 C/D 52ID TNI AU Menjalani Latihan Terbang Di Tucson

F-16/C/D TNI AU 

Enam Penerbang F-16 TNI AU dari Sakdron Udara 3 telah tiba di Tucson Arizona untuk mengikuti latihan konversi menjadi instruktur penerbang pesawat tempur F-16 C/D Block 52ID dalam Proyek “Peace Bima Sena II”. Mereka adalah Komandan Skadron Letkol.Pnb.Firman “Foxhound” Dwi cahyono (40 th), Mayor.Pnb.Anjar “Beagle” Legowo (38 th), Mayor Pnb.Bambang “Bramble” Apriyanto (34 th), Kapt. Pnb Pandu “Hornet”Eka Prayoga (31 th), Kapt. Pnb.Anwar “Weasel” Sovie (30 th) dan Kapt. Pnb.Bambang “Sphynx” Yudhistira (30 th). Para penerbang kebanggaan TNI AU ini tiba di Tucson International Airport pada tanggal 25 Juli 2014 pukul 14.05 siang setelah menempuh perjalanan selama 28 jam dari Jakarta- Hongkong-Seattle dan Tucson.

Para penerbang akan menjalani Latihan “Differential Training” F-16 C/D di Tucson Arizona tanggal 30 Juni-11 Juli 2014. Selanjutnya setelah mengikuti penyerahan tiga pesawat ke pemerintah Indonesia maka pada tanggal 15 Juli dua penerbang akan ikut terbang “Ferry” dari Hill AFB, Utah – Eilsen AFB Alaska- Andersen AFB Guam dan langsung menuju Lanud Iswahyudi Madiun.   Selama perjalanan akan dilaksanakan beberapa kali “air refueling” atau pengisian bahan bakar di udara. Ketiga pesawat direncanakan akan mendarat di Madiun pada tanggal 20 Juli 2014 pukul 11.00 siang. Para penerbang akan melanjutan latihan terbangnya di Lanud Iswahyudi Madiun.

Pesawat Tempur F-16 C/D yang saat ini sedang di upgrade di Hill AFB memiliki nama resmi F-16 C/D k 52 ID memiliki kemampuan dalam banyak hal setara dengan pesawat F-16 Block 52, khususnya bidang kecanggihan avionic, kemampuan tempur dan jenis persenjataannya. Seluruh pesawat sebelumnya digunakan oleh USAF dan disimpan dengan baik di Davis Monthan AFB/AMARG (Aerospace Maintenance & Regeneration Group) yang berlokasi di gurun yang sangat kering. Sementara seluruh mesin pesawat tipe F100-PW-220/E menjalani upgrade di fasilitas pabrik Pratt & Whitney di Old Kelly AFB sehingga menjadi baru kembalai memiliki umur komponen dua kali lebih lama dari mesin standar.

Seluruh pesawat menjalani upgrading dan refurbished rangka serta sistem avionic dan persenjataan di Ogden Air Logistics Center yang berada di Hill AFB, Odgen, Utah. Rangka pesawat diperkuat, jaringan kabel dan elektronik baru dipasang, semua system lama di rekondisi menjadi baru dan system baru ditambahkan agar pesawat lahir kembali siap menjadi pesawat baru dengan kemampuan jauh lebih hebat dari saat kelahirannya.

Sebetulnya pesawat F-16 C/D 52ID F-16 berdasarkan F-16 C/D Block 25 yang memiliki bentuk fisik dan berat kotor maksimum serta tipe mesin yang sama dengan pesawat F-16 Block 15 A/B OCU yang kita miliki. Memang pesawat F-16 C/D Block 52 dengan daya dorong lebih besar mampu mengangkut senjata lebih berat dan bisa terbang lebih jauh. Namun dalam close combat atau pertempuran udara jarak pendek maka pesawat F-16 TNI AU dengan T/W ratio lebih besar memiliki kelincahan yang lebih baik dari F-16 Block 52. Sehingga untuk urusan pertempuran udara dengan rudal jarak pendek AIM-9 Sidewinder P-4/L/M dan IRIS-T (NATO) serta rudal jarak sedang AIM-120 AMRAAM-C jelas pesawat F-16 C/D 52ID TNI AU tidak kalah dengan pesawat F-16 C/D Block 50/52.

Untuk serangan permukaan darat dan perairan Pesawat F-16 ID juga mampu menggotong persenjataan kanon 20 mm, bomb standar MK 81/82/83/84, Laser Guided Bomb, JDAM (GPS Bomb), rudal AGM-65 Maverick, rudal AGM-84 Harpoon (anti kapal), rudal AGM-88 HARM (anti radar) serta mampu menggunakan navigation dan targeting pod untuk operasi malam hari serta missi Supression Of Enemy Air Defence (SEAD) menghancurkan pertahanan udara musuh. Improved Data Modem memungkinkan penerbang melakukan komunikasi tanpa suara hanya menggunakan komunikasi data dengan pesawat lain dan radar darat, radar laut atau radar terbang.

Upgrade Pesawat F-16 C/D 52ID tidak main-main karena mengejar kemampuan setara dengan Block 52, diantaranya memasang Mission Computer MMC- 7000A versi M-5 yang dipakai Block 52+, Improved Data Modem Link 16 Block-52, Embedded GPS INS (EGI) block-52 yang menggabungkan fungsi GPS dan INS , AN/ALQ-213 Electronic Warfare Management System, ALR-69 Class IV Radar Warning Receiver, ALE-47 Countermeasures Dispenser Set untuk melepaskan Chaff/Flare.  Sementara radar AN/APG-68 (V) di upgrade agar meningkat kemampuannya.

Prinsipnya pesawat F-16 C/D 52ID TNI AU menjalani program The Common Configuration Implementation Program (CCIP) seperti yang dilakukan pada pesawat F-16 CD Blok 40/42 USAF agar meningkat menjadi standar Blok-50/52. Semua pesawat F-16 C/D 52ID TNI AU juga menjalani modifikasi struktur rangka pesawat dengan program Falcon STAR (Structural Augmentation Roadmap) sehingga umur rangka pesawat menjadi lebih dari 10.000 jam, hal ini memungkinkan pesawat dipakai selama 10 tahun lagi sebelum menjalani Dervice Life Extension Program (SLEP) yang mampu menambah umur rangka pesawat sekitar 2000 jam atau 10 tahun masa pakai.

Pada saat usia pakai F-16 C/D 52 ID berakhir maka diharapkan Indonesia sudah memiliki armada pesawat tempur modern masa depan generasi 4.5 atau generasi ke 5. Pesawat F-16 C/D 52ID ini merupakan jembatan yang sangat baik untuk membawa Indonesia selangkah lebih maju, tidak hanya menghasilkan penerbang dan tehnisi yang mahir menguasai pesawat dengan generasi lebih maju, namun juga membawa kita untuk bersama-sama menguasai tehnologi, manajemen dan taktik pertempuran udara modern. Sehingga bisa membawa kekuatan udara betul-betul menjadi bagian dari operasi gabungan TNI dengan matra lainnya baik di Darat, Laut dan Udara. Pembelian F-16 C/D 52ID ini akan mendorong peningkatan kemampuan, pengalaman dan pengetahuan kita tentang apa yang diperlukan oleh Indonesia untuk membangun Air Power atau Kekuatan Dirgantara yang kuat.

(TNI AU)

Kebangkitan Pelabuhan Besar Indonesia, Kematian Bagi Singapura

Bila banyak pelabuhan besar dan kekuatan angkatan laut yang memadai, Indonesia akan menjadi Negara Maritim besar, mengulang kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Hal itu disampaikan Kasubdispenum Dispenal Mabesal, Kolonel Laut Suradi AS, di kantornya, saat ditemui JMOL beberapa waktu lalu.

“(Sejumlah) 80 persen distribusi barang di dunia melalui lautan sebagai sarananya, dan 60 persennya ada di Indonesia,” ucap Suradi.
 

Dengan potensi tersebut, hampir satu abad terakhir telah menjadikan Singapura sebagai negara kecil yang memiliki jasa pelabuhan terbesar dan kuat perekonomiannya.
 

Menurut Suradi, sambil menunjuk peta ASEAN dan Indonesia yang ada di ruangannya, Singapura akan surut apabila Indonesia memiliki pelabuhan-pelabuhan besar, tempat kapal-kapal dagang dunia bersandar.
 

“Wilayah barat Sumatera, selatan Jawa, dan membentang sampai Indonesia Timur cukup potensial untuk dibangun beberapa pelabuhan besar maupun pelabuhan perantara, sehingga kapal-kapal tidak perlu lagi singgah di Singapura,” tegasnya.
 

Banyaknya pelabuhan dan kapal yang bersandar akan membawa dampak perekonomian setempat, dan tentunya akan membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
 

“Potensi tersebut juga diiringi dengan pembangunan angkatan laut kita yang berkelas dunia, yang akan mengamankan jalur pelayaran,” tambahnya.
 

Pasalnya, berdasarkan Undang-Undang TNI, TNI AL merupakan matra yang bertugas untuk bidang pertahanan di laut, penegakan hukum dan keamanan di wilayah laut, melaksanakan tugas diplomasi, dan melaksanakan pemberdayaan wilayah laut.
 

“Salah satu ukuran besarnya angkatan laut adalah dengan adanya alutsista yang memadai, dan dalam TNI AL dikenal istilah senjata yang diawaki manusia bukan manusia yang dipersenjatai,” pungkasnya.




Sumber : JurnalMariitm

Sengketa Perbatasan Indonesia Timor Leste

Indonesia Timor Leste Saling Klaim Lahan Di Perbatasan

Pemerintah Indonesia dan Timor Leste masih mempersoalkan masalah perbatasan antara kedua negara di atas lahan seluas 1.211,7 hektare yang terdapat di dua titik batas yang belum terselesaikan.

"Masih ada dua titik perbatasan kedua negara yang belum diselesaikan antara Indonesia dan Timor Leste," kata Kepala Seksi (Kasie) Operasional Korem 161 Wira Sakti Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Letnan Kolonel Waris Ari Nugroho, Rabu, 25 Juni 2014.

Dua titik batas yang masih dipersoalkan antara kedua negara yakni wilayah di Desa Oepoli, Kabupaten Kupang, yang berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, dengan luas 1.069 hektare.

Di daerah itu terdapat satu desa yakni Naktuka yang dihuni 45 kepala keluarga berada di zona bebas, namun mereka lebih mendapat perhatian dari pemerintah Timor Leste. "Pemerintah Indonesia tidak mengurusi warga di Naktuka, sehingga mereka diurusi oleh negara tetangga," katanya.

Batas lainnya yang masih bermasalah terletak di Bijai Suna, Desa Oben, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang juga berbatasan dengan distrik Oecusse, Timor Leste, seluas 142,7 ha. "Tidak ada penduduk di lokasi sengketa itu," katanya.

Selain dua batas wilayah yang belum disepakati itu, katanya, terdapat satu titik batas yang sudah disepakati antara kedua negara, yakni Subinah, TTU. Namun masyarakat di perbatasan menolak batas wilayah yang telah ditetapkan itu, sehingga sering terjadi konflik antarwarga dua negara di wilayah perbatasan itu. "Kami sudah tempatkan personil TNI untuk mengamankan wilayah itu," katanya. 

Sengketa Perbatasan, Satu Pulau Bisa Lepas  

Sejumlah warga melambaikan bendera menyambut kedatangan helikopter M1 milik TNI AD saat mendarat di perbatasan Indonesia - Timor Leste di Desa Looluna, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) (4/7). ANTARA/Yudhi Mahatma

Pulau Batek, salah satu pulau terluar yang terletak Kecamatan Amfoang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) terancam menjadi milik Timor Leste, jika masalah perbatasan antarnegara di kecamatan itu tak segera diselesaikan.

"Jika mengikuti patok batas pemerintah Timor Leste, maka Pulau Batek akan menjadi milik mereka," kata Kepala Staf Kodim 1604 Kupang, Mayor (Inf) Dwi Kristianto kepada Tempo di Kupang, Jumat, 25 Oktober 2013.

Pulau Batek adalah satu dari empat pulau terluar di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dijaga oleh anggota TNI. Empat pulau terluar itu adalah Pulau Batek, Ndana Rote, Ndana Sabu, dan Mengudu di Sumba Timur.

Menurut dia, berdasarkan pemahaman warga Distrik Oekusi, Timor Leste, patok batas antar-kedua negara berada di Nonotuinan atau sungai kecil di bagian barat, sedangkan pemahaman warga dan pemerintah Indonesia batas antar-kedua negara berada di Noelbesi atau sungai besar di bagian timur.

"Jika mengikuti pemahaman batas Timor Leste, maka Pulau Batek masuk ke wilayah Timor Leste, bukan Indonesia," katanya.

Dengan belum adanya kesepakatan batas antar-kedua negara itu, maka ditetapkan zona bebas di Desa Naktuka, Kecamatan Amfoang Timur. Kedua belah pihak dilarang beraktifitas di zona tersebut.

Sementara itu, Bupati Kupang, Ayub Titu Eki mengatakan penyelesaian masalah batas antara Indonesia dan Timor Leste khususnya di wilayah Naktuka, Kabupaten Kupang menjadi urusan pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah hanya melakukan pendekatan adat agar tidak terjadi konflik di perbatasan kedua negara.

"Jika diserahkan ke pemerintah daerah, pasti masalah sudah selesai, karena dilakukan secara adat," katanya.

 

 Sumber : Tempo

ITB Gandeng Korea "Cyber Security"

Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Korea Cyber Security menjalin kerja sama dalam rangka penelitian dan pengembangan sumber daya manusia sektor cyber security atau keamanan dunia maya.

"Kerja sama ini dilakukan untuk membangun kualitas sumber daya manusia. Hal ini juga diharapkan memberikan pengetahuan betapa pentingnya cyber security," kata Dekan Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB Prof Dr Suwarno di Bandung, Jumat.

Ia menyebutkan Indonesia kini tengah dalam keadaan mendesak dalam hal cyber security sehingga masyarakat perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan global termasuk dalam sektor penggunaan internet.

"Bicara tentang internet maka kita otomatis melakukan kerja sama dengan pihak luar negri," katanya. 

Suwarno menyebutkan, pengembangan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia di sektor sumber daya manusia cyber security sangat mendesak dan menjadi masa depan ketahanan cyber Indonesia.

"Perkembangan global yang cepat menjadi suatu tantangan bagi kita, terutama dalam pengembangan SDM," katanya.

Sementara itu Kim Byun Hwan dari Koica selaku partner kerja sama itu mengatakan Indonesia adalah sasaran strategis untuk kerja sama di bidang cyber.
"Indonesia merupakan target strategis bagi Korea untuk menjalin kerja sama ini," katanya.

Program ini ke depannya akan melibatkan negara lain dan mengembangkan pelatihan kepada masyarakat untuk mengenalkan dan memberi tahu pentingnya penetahuan cyber security. 
"Sosialisasi berguna untuk mengenalkan betapa pentingnya cyber security. Dengan pelatihan-pelatihan pendek diusahakan memerikan info mengenai cyber security kepada masyarakat khususnya pegawai dan pejabat atau kepolisian," kata Suwarno menimpali.




Sumber : Antara

Perkembangan UAV Lokal

Drone Buatan Dalam Negeri Tak Dihargai Lokal 
 
Riset drone atau pesawat udara nirawak (PUNA) di Indonesia ternyata tidak banyak berkembang. Dana yang minim dan cibiran menghantui perkembangan PUNA di Indonesia.

Menurut Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, Mohamad Dahsyat, sejak awal dikembangkan di BPPT tahun 2004, kegiatan riset PUNA hanya memiliki investasi total Rp 20 miliar. Ini artinya, BPPT hanya diberikan dana Rp 2 miliar dalam kurun setahun.

Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com, dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$ 26 miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.

"Budget memang menjadi kendala. Selain itu juga kurangnya dukungan. Antara lain, orang kita yang selalu membandingkan produknya dengan negara-negara maju. Tentu saja tidak seimbang. Kita baru belajar, mereka sudah lama," papar Mohammad kepada VIVAnews, Kamis, 26 Juni 2014.

Memang tidak adil jika kita membandingkan drone produk lokal dengan luar negeri. Di Amerika, drone sudah digunakan untuk segala bidang, termasuk untuk persenjataan militer sampai pengiriman barang. Sama halnya dengan Rusia yang berencana memiliki drone 'pembunuh'.

Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta. Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara.

"Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan photo kelas UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa luas wiliayah, sekitar Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, tergantung dengan perjanjiannya pekerjaannya," papar Mohammad.

Oleh karena itu, katanya, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan kerahasiaan negara lebih terjamin.

"Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator," kata Mohammad.

PUNA buatan dalam negeri diberi nama Wulung yang merupakan hasil keroyokan antara PT Dirgantara Indonesia untuk mengurusi produksi, Lembaha Elektronik Nasional (LEN) untuk sistem komunikasi dan elektronik, serta BPPT untuk bagian riset dan pengembangan.

Dikatakan pemerhati persenjataan militer, Haryo Ajie Nogoseno, Wulung nantinya akan ditemani oleh 4 unit drone baru bernama Heron. Wulung dan Heron akan bersanding di Lapangan Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.

"Heron dapat terbang sejauh 350 km dan mampu terbang terus menerus hingga 52 jam. Dengan kecepatan maksimum 207 km/jam, Heron dengan ketinggian terbang hingga 10.000 meter memang layak menjadi spy plane. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200 km yang di dukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data secara realtime," papar pendiri situs Indomiliter.com ini. 

Teknologi Drone Yang Belum Dikuasai Indonesia 

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus mengembangkan kemampuan teknologi pesawat nirawak (drone). Saat ini BPPT sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung dan Sriti, yang mana keduanya didesain untuk pengawasan perairan laut Indonesia.

Meski sudah mampu membuat pesawat nirawak secara mandiri, Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, mengakui penguasaan teknologi masih belum sepenuhnya dimiliki.

"Untuk desain pesawat kita sudah 100 persen kita sendiri. Tapi untuk sistem komunikasi, sistem kendali mash tergantung dengan komponen dari Eropa maupun Amerika Serikat," jelas Joko kepada VIVanews, Senin malam, 25 Juni 2014.

Bagian yang belum dikuasai itu merupakan bagian yang vital dalam pengawasan sebuah wilayah. Misalnya, pasa sisten komunikasi terdapat komponen kamera, muatan pesawat dan sensor, dan RI masih menggantungkan pada pasokan dari negara asing.

Namun BPPT terus mengembangkan komponen dari dalam negeri. Beberapa komponen pesawat nirawak yang sudah dibuat mandiri oleh Indonesia yaitu komponen untuk menghitung perbedaan tekanan udara agar mengetahui kecepatan pesawat.

"Sekarang kami sedang kembangkan komputer kendali terbang baik yang di pesawat maupun yang di darat. Software Ground Station juga sudah dibuat sendiri," jelas Joko.

Joko tak khawatir dengan membeli komponen sistem komunikasi dari luar bakal menimbulkan celah penyadapan pada data pengawasan.

Menurutnya, dengan pengetahuan mendalam pada program komunikasi, data pengawasan bisa dikelola secara aman.

"Yang penting kita bisa akses ke program, bisa ubah program, integrasi maupun troubleshooting sendiri. Itu nilai tambah," kata dia yang tetap menggarisbawahi kemandirian teknologi pesawat nirawak.

Transfer Teknologi 

Upaya penguasaan teknologi tak dilupakan oleh BPPT. Joko mengatakan BPPT tengah mendidik pengembangan sumber daya manusia, agar nantinya mampu menguasai teknologi nirawak secara khusus.

"Ada yang kami sekolahkan ke luar negeri, harus ada strategi ini supaya mereka nanti dedicated untuk teknologi pesawat nirawak," ujarnya.

Upaya penguasaan teknologi ini juga melalui transfer teknologi, yang diamanahkan dalam UU NOmor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

Dalam undang-undang itu tercantum amanah tranfer teknologi harus tercapai dalam setiap pembelian alutsista, termasuk alat yang merupakan bagian pesawat nirawak.

"Dari negara manapun, itu harus mengacu pada pokom transfer teknologi," ujarnya. 

Perkembangan Riset Teknologi Drone Indonesia

 LSU 02 ujicoba di Diponegoro Class
Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.

Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.

"Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan," kata dia.

Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu.

"Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station," katanya.

Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.

Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan.

Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.

Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan.

"Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data," katanya.

Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.

Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE).

Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian.

Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.

"Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan," katanya.

Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.




Sumber : Vivanews

Perkembangan UAV Lokal

Drone Buatan Dalam Negeri Tak Dihargai Lokal 
 
Riset drone atau pesawat udara nirawak (PUNA) di Indonesia ternyata tidak banyak berkembang. Dana yang minim dan cibiran menghantui perkembangan PUNA di Indonesia.

Menurut Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, Mohamad Dahsyat, sejak awal dikembangkan di BPPT tahun 2004, kegiatan riset PUNA hanya memiliki investasi total Rp 20 miliar. Ini artinya, BPPT hanya diberikan dana Rp 2 miliar dalam kurun setahun.

Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com, dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$ 26 miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.

"Budget memang menjadi kendala. Selain itu juga kurangnya dukungan. Antara lain, orang kita yang selalu membandingkan produknya dengan negara-negara maju. Tentu saja tidak seimbang. Kita baru belajar, mereka sudah lama," papar Mohammad kepada VIVAnews, Kamis, 26 Juni 2014.

Memang tidak adil jika kita membandingkan drone produk lokal dengan luar negeri. Di Amerika, drone sudah digunakan untuk segala bidang, termasuk untuk persenjataan militer sampai pengiriman barang. Sama halnya dengan Rusia yang berencana memiliki drone 'pembunuh'.

Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta. Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara.

"Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan photo kelas UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa luas wiliayah, sekitar Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, tergantung dengan perjanjiannya pekerjaannya," papar Mohammad.

Oleh karena itu, katanya, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan kerahasiaan negara lebih terjamin.

"Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator," kata Mohammad.

PUNA buatan dalam negeri diberi nama Wulung yang merupakan hasil keroyokan antara PT Dirgantara Indonesia untuk mengurusi produksi, Lembaha Elektronik Nasional (LEN) untuk sistem komunikasi dan elektronik, serta BPPT untuk bagian riset dan pengembangan.

Dikatakan pemerhati persenjataan militer, Haryo Ajie Nogoseno, Wulung nantinya akan ditemani oleh 4 unit drone baru bernama Heron. Wulung dan Heron akan bersanding di Lapangan Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.

"Heron dapat terbang sejauh 350 km dan mampu terbang terus menerus hingga 52 jam. Dengan kecepatan maksimum 207 km/jam, Heron dengan ketinggian terbang hingga 10.000 meter memang layak menjadi spy plane. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200 km yang di dukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data secara realtime," papar pendiri situs Indomiliter.com ini. 

Teknologi Drone Yang Belum Dikuasai Indonesia 

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus mengembangkan kemampuan teknologi pesawat nirawak (drone). Saat ini BPPT sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung dan Sriti, yang mana keduanya didesain untuk pengawasan perairan laut Indonesia.

Meski sudah mampu membuat pesawat nirawak secara mandiri, Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, mengakui penguasaan teknologi masih belum sepenuhnya dimiliki.

"Untuk desain pesawat kita sudah 100 persen kita sendiri. Tapi untuk sistem komunikasi, sistem kendali mash tergantung dengan komponen dari Eropa maupun Amerika Serikat," jelas Joko kepada VIVanews, Senin malam, 25 Juni 2014.

Bagian yang belum dikuasai itu merupakan bagian yang vital dalam pengawasan sebuah wilayah. Misalnya, pasa sisten komunikasi terdapat komponen kamera, muatan pesawat dan sensor, dan RI masih menggantungkan pada pasokan dari negara asing.

Namun BPPT terus mengembangkan komponen dari dalam negeri. Beberapa komponen pesawat nirawak yang sudah dibuat mandiri oleh Indonesia yaitu komponen untuk menghitung perbedaan tekanan udara agar mengetahui kecepatan pesawat.

"Sekarang kami sedang kembangkan komputer kendali terbang baik yang di pesawat maupun yang di darat. Software Ground Station juga sudah dibuat sendiri," jelas Joko.

Joko tak khawatir dengan membeli komponen sistem komunikasi dari luar bakal menimbulkan celah penyadapan pada data pengawasan.

Menurutnya, dengan pengetahuan mendalam pada program komunikasi, data pengawasan bisa dikelola secara aman.

"Yang penting kita bisa akses ke program, bisa ubah program, integrasi maupun troubleshooting sendiri. Itu nilai tambah," kata dia yang tetap menggarisbawahi kemandirian teknologi pesawat nirawak.

Transfer Teknologi 

Upaya penguasaan teknologi tak dilupakan oleh BPPT. Joko mengatakan BPPT tengah mendidik pengembangan sumber daya manusia, agar nantinya mampu menguasai teknologi nirawak secara khusus.

"Ada yang kami sekolahkan ke luar negeri, harus ada strategi ini supaya mereka nanti dedicated untuk teknologi pesawat nirawak," ujarnya.

Upaya penguasaan teknologi ini juga melalui transfer teknologi, yang diamanahkan dalam UU NOmor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

Dalam undang-undang itu tercantum amanah tranfer teknologi harus tercapai dalam setiap pembelian alutsista, termasuk alat yang merupakan bagian pesawat nirawak.

"Dari negara manapun, itu harus mengacu pada pokom transfer teknologi," ujarnya. 

Perkembangan Riset Teknologi Drone Indonesia

 LSU 02 ujicoba di Diponegoro Class
Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.

Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.

"Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan," kata dia.

Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu.

"Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station," katanya.

Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.

Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan.

Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.

Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan.

"Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data," katanya.

Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.

Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE).

Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian.

Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.

"Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan," katanya.

Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.




Sumber : Vivanews

Perkembangan UAV Lokal

Drone Buatan Dalam Negeri Tak Dihargai Lokal 
 
Riset drone atau pesawat udara nirawak (PUNA) di Indonesia ternyata tidak banyak berkembang. Dana yang minim dan cibiran menghantui perkembangan PUNA di Indonesia.

Menurut Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, Mohamad Dahsyat, sejak awal dikembangkan di BPPT tahun 2004, kegiatan riset PUNA hanya memiliki investasi total Rp 20 miliar. Ini artinya, BPPT hanya diberikan dana Rp 2 miliar dalam kurun setahun.

Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com, dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$ 26 miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.

"Budget memang menjadi kendala. Selain itu juga kurangnya dukungan. Antara lain, orang kita yang selalu membandingkan produknya dengan negara-negara maju. Tentu saja tidak seimbang. Kita baru belajar, mereka sudah lama," papar Mohammad kepada VIVAnews, Kamis, 26 Juni 2014.

Memang tidak adil jika kita membandingkan drone produk lokal dengan luar negeri. Di Amerika, drone sudah digunakan untuk segala bidang, termasuk untuk persenjataan militer sampai pengiriman barang. Sama halnya dengan Rusia yang berencana memiliki drone 'pembunuh'.

Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta. Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara.

"Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan photo kelas UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa luas wiliayah, sekitar Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, tergantung dengan perjanjiannya pekerjaannya," papar Mohammad.

Oleh karena itu, katanya, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan kerahasiaan negara lebih terjamin.

"Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator," kata Mohammad.

PUNA buatan dalam negeri diberi nama Wulung yang merupakan hasil keroyokan antara PT Dirgantara Indonesia untuk mengurusi produksi, Lembaha Elektronik Nasional (LEN) untuk sistem komunikasi dan elektronik, serta BPPT untuk bagian riset dan pengembangan.

Dikatakan pemerhati persenjataan militer, Haryo Ajie Nogoseno, Wulung nantinya akan ditemani oleh 4 unit drone baru bernama Heron. Wulung dan Heron akan bersanding di Lapangan Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.

"Heron dapat terbang sejauh 350 km dan mampu terbang terus menerus hingga 52 jam. Dengan kecepatan maksimum 207 km/jam, Heron dengan ketinggian terbang hingga 10.000 meter memang layak menjadi spy plane. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200 km yang di dukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data secara realtime," papar pendiri situs Indomiliter.com ini. 

Teknologi Drone Yang Belum Dikuasai Indonesia 

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus mengembangkan kemampuan teknologi pesawat nirawak (drone). Saat ini BPPT sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung dan Sriti, yang mana keduanya didesain untuk pengawasan perairan laut Indonesia.

Meski sudah mampu membuat pesawat nirawak secara mandiri, Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, mengakui penguasaan teknologi masih belum sepenuhnya dimiliki.

"Untuk desain pesawat kita sudah 100 persen kita sendiri. Tapi untuk sistem komunikasi, sistem kendali mash tergantung dengan komponen dari Eropa maupun Amerika Serikat," jelas Joko kepada VIVanews, Senin malam, 25 Juni 2014.

Bagian yang belum dikuasai itu merupakan bagian yang vital dalam pengawasan sebuah wilayah. Misalnya, pasa sisten komunikasi terdapat komponen kamera, muatan pesawat dan sensor, dan RI masih menggantungkan pada pasokan dari negara asing.

Namun BPPT terus mengembangkan komponen dari dalam negeri. Beberapa komponen pesawat nirawak yang sudah dibuat mandiri oleh Indonesia yaitu komponen untuk menghitung perbedaan tekanan udara agar mengetahui kecepatan pesawat.

"Sekarang kami sedang kembangkan komputer kendali terbang baik yang di pesawat maupun yang di darat. Software Ground Station juga sudah dibuat sendiri," jelas Joko.

Joko tak khawatir dengan membeli komponen sistem komunikasi dari luar bakal menimbulkan celah penyadapan pada data pengawasan.

Menurutnya, dengan pengetahuan mendalam pada program komunikasi, data pengawasan bisa dikelola secara aman.

"Yang penting kita bisa akses ke program, bisa ubah program, integrasi maupun troubleshooting sendiri. Itu nilai tambah," kata dia yang tetap menggarisbawahi kemandirian teknologi pesawat nirawak.

Transfer Teknologi 

Upaya penguasaan teknologi tak dilupakan oleh BPPT. Joko mengatakan BPPT tengah mendidik pengembangan sumber daya manusia, agar nantinya mampu menguasai teknologi nirawak secara khusus.

"Ada yang kami sekolahkan ke luar negeri, harus ada strategi ini supaya mereka nanti dedicated untuk teknologi pesawat nirawak," ujarnya.

Upaya penguasaan teknologi ini juga melalui transfer teknologi, yang diamanahkan dalam UU NOmor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

Dalam undang-undang itu tercantum amanah tranfer teknologi harus tercapai dalam setiap pembelian alutsista, termasuk alat yang merupakan bagian pesawat nirawak.

"Dari negara manapun, itu harus mengacu pada pokom transfer teknologi," ujarnya. 

Perkembangan Riset Teknologi Drone Indonesia

 LSU 02 ujicoba di Diponegoro Class
Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.

Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.

"Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan," kata dia.

Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu.

"Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station," katanya.

Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.

Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan.

Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.

Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan.

"Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data," katanya.

Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.

Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE).

Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian.

Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.

"Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan," katanya.

Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.




Sumber : Vivanews

Perancis Siap ToT Kapal Selam Untuk Indonesia

Menteri Muda Pertahanan Prancis Kader Arif menilai Indonesia sebagai mitra penting bagi negaranya. Indonesia diharapkan menjadi pintu masuk bagi Prancis untuk menjalin kerja sama pertahanan dengan negara-negara ASEAN. 
 

Hal tersebut disampaikan Arif saat menerima kunjungan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin di Paris, Kamis (26/6/2014). Sjafrie didampingi Kepala Badan Sarana Pertahanan Laksamana Muda Rachmat Lubis. 
 

Arif mengapresiasi peran yang dilakukan Indonesia baik dalam menjadi perdamaian di kawasan maupun dalam operasi penjaga perdamaian. Seperti halnya Indonesia, Prancis melakukan hal yang sama dengan penempatan pasukan perdamaian di banyak negara. 
 

Untuk membuat peran itu berjalan lebih baik, Tentara Nasional Indonesia perlu dilengkapi dengan alat utama sistem persenjataan yang memadai. Menurut Arif, Prancis siap untuk memenuhi kebutuhan alutsista maupun pengembangan industri pertahanan Indonesia. 
 

"Saya berterima kasih bahwa TNI AD mempercayai untuk menggunakan meriam Caesar 155 mm buat Prancis. Saya mendukung bukan hanya untuk pembelian alutsista, tetapi juga pengembangan industrinya seperti yang akan dilakukan PT Pindad dengan Nexter untuk pengembangan Caesar maupun dengan Roxel untuk industri propelan," kata menteri muda berdarah Aljazair itu. 
 

Menurut Arif, Prancis akan memberikan dukungan untuk transfer teknologi. Termasuk juga untuk industri kapal selam apabila dibutuhkan Indonesia. 
 
Wamenhan menjelaskan kunjungan ke Prancis dan Belanda dilakukan Komite Kebijakan Industri Pertahanan dan juga High Level Committe untuk mencek seluruh alutsista yang dipesan Indonesia untuk TNI. Termasuk juga tiga kapal fregat multifungsi yang sedang dibangun di Manchester Inggris. Juga helikopter serang Eurocopter yang akan melengkapi Helikopter MI 35 dan Apache yang memperkuat TNI AD. 
 
Menurut Sjafrie seluruh pesanan itu sudah dalam tahap akhir dan akan segera dikirim secara bertahap ke Indonesia. Seluruh alutsista yang baru ini akan ikut dalam peringatan Hari TNI 5 Oktober. 
 
Sjafrie merasa puas karena selain pembelian alutsista ada banyak tawaran bagi pengembangan kerja sama industri pertahanan. Terutama untuk Pindad yang terbuka peluang bagi pengembangan Panser Anoa serta kendaraan tempur dan munisi lainnya. 
 
Bersama Dirut Pindad Sudirman Said, Wamenhan bertemu juga Presiden Volvo Group, Stefano Chmielewski untuk membicarakan pasokan mesin Renault untuk kebutuhan Panser Anoa. 
 
"Pindad sudah memproduksi 250 unit panser kebutuhan TNI AD. Sekarang Pindad mempunyai kesempatan untuk memasok 250 unit lainnya dan Renault bersepakat untuk memasok kebutuhan mesinnya," kata 




Sumber : Metrotvnews

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Coupons