Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
Sejarah Kesultanan Mataram, Sejarah Sutawijaya, Sejarah Prabu Hanyokrowati, Sejarah Ki Ageng Sela
Masa Awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.
Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
Peristiwa Penting Kerajaan Mataram
1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
Sejarah Kesultanan Mataram, Sejarah Sutawijaya, Sejarah Prabu Hanyokrowati, Sejarah Ki Ageng Sela
Masa Awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.
Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi kraton ke Karta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
Peristiwa Penting Kerajaan Mataram
1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, yang sebelumnya sebagai putra angkat Sultan Pajang bergelar "Mas Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di sebelah utara pasar). Ia mendapat gelar "Senapati in Ngalaga" (karena masih dianggap sebagai Senapati Utama Pajang di bawah Sultan Pajang).
1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered.
1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723).
1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. Perjanjian Salatiga, perjanjian yang lebih lanjut membagi wilayah Kesultanan Mataram yang sudah terpecah, ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) dengan Sunan Paku Buwono III,VOC dan Sultan Hamengku Buwono I. Raden Mas Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
1799 - Voc dibubarkan
1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
Dinasti Syailendra

.
2.2 Sumber Sejarah
Nama Syailendra pertama kali di jumpai dalam prasasti Kalasan pada tahun 778 M. Ada beberapa sumber yang menyebutkan asal-usul keluarga Syailendra, yaitu:
1. Sumber India
Nilakanta Sastri dan Moens yang berasal dari India dan menetap di Palembang menyatakan bahwa pada tahun 683 M keluarga Syailendra melarikan diri di Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang.
2. Sumber Funan
Codes beranggapan bahwa Syailendra yang ada di Nusantara berasal dari Funan (Kamboja). Kerusuhan yang terjadi di Funa mengakibatkan keluarga kerajaan Funan menyingkir ke Jawa dan menjadi penguasa di Mataram pada abad ke 8 M dengan menggunakan nama Syailendra.
Codes beranggapan bahwa Syailendra yang ada di Nusantara berasal dari Funan (Kamboja). Kerusuhan yang terjadi di Funa mengakibatkan keluarga kerajaan Funan menyingkir ke Jawa dan menjadi penguasa di Mataram pada abad ke 8 M dengan menggunakan nama Syailendra.
3. Sumber Nusantara
Sumber ini menyatakan bahwa bangsa Syailendra mungkin berasal dari Sumatera yang kemudian berpindah da berkuasa di Jawa, atau mungkin bangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengruh kuat dari Sriwijaya. Menurut beberapa sejarawan, keluarga Syailendra berasal dari Sumatera yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke 7 M dengan menyerang kerajaan Tarumanagara dan Ho-ling di Jawa. Serangan Sriwijaya atas Jawa yang tidak mau berbakti kepada Sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta pada prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga dalam cerita Parahiyangan disebutkan bahwa raja Mandiminak mendapatkan putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandiminak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun.
Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandiminak mulai berkuasa sejak tahun 703 M. ini berarti masih ada satu orang lagi yang berkuasa sebelum Mandiminak. Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan cerita Parahiyangan, maka keluarga Syailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada dibawah pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan sejarah kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Mereka pada awalnya beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti Tarumanagara dan Holing (Kalingga). Penggunaan bahasa-bahasa melayu kuno pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran Dapunta menunjukkan bahwa keluarga Syailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan system politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah vassal atau raja bahwa anggota kedatuan Sriwijaya. Hal ini seiring dengan kabar penaklukan bumi Jawa ole Sriwijaya sebagaimana disebutkan dalam prasasti Kota Kapur.
Berita Tiongkok yang berasal dari masa Dinasti Tang memberitakan tentang kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (Jawa). Pada tahun 674 M rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu His-mo (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunt Selendra?. Apabila ya, maka diperole urutan raja-raja yang memerintah yaitu Dapunta Selendra (674 M), Ratu Sima (674-703 M), Mandiminak (703-710 M), R. Sanna (710-717 M), R. Sanjaya (717-746 M), Rakai Panamkaran (746-784 M), dan seterusnya.
Selain dari teori tersebut di atas dapat diliat dari beberapa Prasasti yang ditemukan, yaitu :
a. Prasasti Sojomerto
Prasasti yang berasal dai pertengaan abad ke-7 itu berebahasa Melayu Kuno di desa Sojomerto, Kabupaten Pekalongan yang menjelaskan bahwa Dapunta Syailendra adalah penganut agama Siwa.
b. Prasasti Kalasan
Prasasti yang berangka tahun 778 M merupakan prasasti peniggalan Wangsa Sanjaya. Prasasti ini menceritakan tentang pendirian Candi Kalasan oleh Rakai Panagkaran atas permintaan keluarga Syailendra serta berbagai penghadiahan di desa Kalasan untuk umat Bundha.
c. Prasasti Klurak
Prasasti yang berangka tahun 782 M, di daerah prambanan menyebutkan tentang pembuatan Arca Manjustri yang merupakan perwujudan Sang Bundha, Wisnu dan Sangha. Prasasti ini juga menyebutkan nama raja yang berkuasa saat itu yang bernama Raja Indra.
Sumber ini menyatakan bahwa bangsa Syailendra mungkin berasal dari Sumatera yang kemudian berpindah da berkuasa di Jawa, atau mungkin bangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengruh kuat dari Sriwijaya. Menurut beberapa sejarawan, keluarga Syailendra berasal dari Sumatera yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke 7 M dengan menyerang kerajaan Tarumanagara dan Ho-ling di Jawa. Serangan Sriwijaya atas Jawa yang tidak mau berbakti kepada Sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta pada prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga dalam cerita Parahiyangan disebutkan bahwa raja Mandiminak mendapatkan putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandiminak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun.
Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandiminak mulai berkuasa sejak tahun 703 M. ini berarti masih ada satu orang lagi yang berkuasa sebelum Mandiminak. Karena teori Poerbatjaraka berdasarkan cerita Parahiyangan, maka keluarga Syailendra diduga berasal dari pulau Jawa yang berada dibawah pengaruh Sriwijaya. Tokoh Sanna dan Sanjaya berkaitan erat dengan sejarah kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Mereka pada awalnya beragama Siwa seperti kebanyakan keluarga kerajaan permulaan di pulau Jawa seperti Tarumanagara dan Holing (Kalingga). Penggunaan bahasa-bahasa melayu kuno pada prasasti Sojomerto di Jawa Tengah serta penggunaan gelaran Dapunta menunjukkan bahwa keluarga Syailendra telah dipengaruhi bahasa, budaya, dan system politik Sriwijaya, hal ini menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah vassal atau raja bahwa anggota kedatuan Sriwijaya. Hal ini seiring dengan kabar penaklukan bumi Jawa ole Sriwijaya sebagaimana disebutkan dalam prasasti Kota Kapur.
Berita Tiongkok yang berasal dari masa Dinasti Tang memberitakan tentang kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (Jawa). Pada tahun 674 M rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu His-mo (Ratu Sima). Ratu ini memerintah dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunt Selendra?. Apabila ya, maka diperole urutan raja-raja yang memerintah yaitu Dapunta Selendra (674 M), Ratu Sima (674-703 M), Mandiminak (703-710 M), R. Sanna (710-717 M), R. Sanjaya (717-746 M), Rakai Panamkaran (746-784 M), dan seterusnya.
Selain dari teori tersebut di atas dapat diliat dari beberapa Prasasti yang ditemukan, yaitu :
a. Prasasti Sojomerto
Prasasti yang berasal dai pertengaan abad ke-7 itu berebahasa Melayu Kuno di desa Sojomerto, Kabupaten Pekalongan yang menjelaskan bahwa Dapunta Syailendra adalah penganut agama Siwa.
b. Prasasti Kalasan
Prasasti yang berangka tahun 778 M merupakan prasasti peniggalan Wangsa Sanjaya. Prasasti ini menceritakan tentang pendirian Candi Kalasan oleh Rakai Panagkaran atas permintaan keluarga Syailendra serta berbagai penghadiahan di desa Kalasan untuk umat Bundha.
c. Prasasti Klurak
Prasasti yang berangka tahun 782 M, di daerah prambanan menyebutkan tentang pembuatan Arca Manjustri yang merupakan perwujudan Sang Bundha, Wisnu dan Sangha. Prasasti ini juga menyebutkan nama raja yang berkuasa saat itu yang bernama Raja Indra.
d. Prasasti Ratu Boko
Prasasti berangka tahun 865 M menyebutkan tentang kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakanya Pradhowardhani dan melarikan diri ke Palembang.
2.3 Raja- raja Syailendra
Adapun Raja- raja yang pernah berkuasa, yaitu :
1. Bhanu ( 752- 775 M )
Raja banu merupakan raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra.
2. Wisnu ( 775- 782 M)
Pada masa pemerintahannya, Candi Brobudur mulai di banugun tempatny 778.
3. Indra ( 782 -812 M )
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Klurak yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan.
4. Samaratungga ( 812 – 833 M )
Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha, samaratungga sangat menghayati nilai agama dan budaya pada masa pemerintahannya Candi Borobudur selesai di bangun.
5. Pramodhawardhani ( 883 – 856 M )
Pramodhawardhani adalah putrid samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar keratin yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjdi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.
6. Balaputera Dewa ( 883 – 850 M )
Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga dari ibunya yang bernama Dewi Tara, Puteri raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi perebutan tahta kerajaan oleh Rakai Pikatan yang menjadi suami Pramodhawardhani. Belaputera Dewa merasa berhak mendapatkan tahta tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah Syailendra dan tidak setuju terhadap tahta yang diberikan Rakai Pikatan yang keturunan Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa mengalami kekalahan dan melatrikan diri ke Palembang.
2.4. Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi dan Budaya dinasti Syailendra
Kehidupan social kerajan mataram Dinasti Syailendra di tampsirkan telah teratur. Hal ini dilihat dari pembuatan Candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotongroyong. Dari segi budaya Kerajaan Dinasti syailendra juga banyak meninggalkan bangunan- bangunan menengah dan bernilai.
Kehidupan social kerajan mataram Dinasti Syailendra di tampsirkan telah teratur. Hal ini dilihat dari pembuatan Candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotongroyong. Dari segi budaya Kerajaan Dinasti syailendra juga banyak meninggalkan bangunan- bangunan menengah dan bernilai.
2.5 Runtuhnya Wangsa Syailendra
Adanya ketimpangan perekonomian serta perbedaan keyakinan antara syailendra sang penguasa yang beragama Budha dengan rakyat Jawa yang beragama Hindu Siwa, menjadi factor terjadinya ketidakstabilan di Jawa Tengah. Untuk mengatasi ini, raja Samaratungga menikahkan puterinya Pramodhawardhani, dengan anak Garung, Rakai Pikatan yang waktu itu menjadi pangeran wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Senjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Budha. Rakai pikatan bahkan menyerang Balaputera Dewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani.
Sejarah wangsa syailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputeradewa melarikan diri ke kesuwarnadwipa yang merupakan negeri asal ibunya. Setelah terusirnya wangsa syailendra dari Jawa Tengah, berahir pula kekuasaan sriwijaya atas Jawa selama satu abad. Orang-orang jawa yang menjadi pengikut Balaputeradewa merasa tersingkir dan akhirnya bermigrasi ke Jawa Barat untuk mendirikan kerajaan Banten Girang. Sejarahwan keluarga syailendra berasal dari sumatera yang berimigrasi ke Jawa Tengah setelah sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke -7 M dengan menyerang kerajaan Tarumunegara dan Ho-ling di Jawa. Serangan srwijaya atas jawa berdasarkan atas Prasasti Kota Kapur yang mencanangkan ekspansi atas Bhuumi Jawa yang tidak mau berbakti kepadas sriwijaya. Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar Dapunta pada prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiyang. Prasasti Sojomerto dan prsasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu kuno.
Teori Nusantara juga ditemukan oleh Poerbatjaraka.Menurut poerbatjaraka, sanjaya dan ketarunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Syailendra, asli Nusantara yang menganut agama Siwa.Tetapi sejak panamkaran berpindah agama menjadi penganut Buda Maayana juga.pendapatnya itu didasarkan atas Cerita paraiyangan yang menyebutkan bahwa R.Sanjaya menyuruh anaknya R.panaraban atau R. Tamperan untuk berpindahan agama karena agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang. Pendeapat dari poerbatjaraka yang didasarkan atas Cerita parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta syailendra, nama ayah (Santanu), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampula) (dapunta selendra nama santanu dan nama bapa bahdrawati nama aya nda sampula nda ). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta salendra adalah bakal raja-raja keturunan syailendra yang berkuasa di Mdan.
Nama dapunta sailendra jelas merupakan ejaan Melayu dari kata sansekerta syailendra karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian ,kalau keluarga syailendra berasal dari India Selatan tentukan mereka memakai bahasa Sansekerta di dalam prasasti- prasastinya. Dengan di temukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga syilendra dengan pendirinya Dapunta sailendra. Berdasarkan paleografinya, prasasti Sojomerto berasal dari sekitar abab ke-7 M.
Prasasti Canggal meyebutkan bahwa sanjana menderikan sebuah lingga di bukit sthirangan untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa sanjaya memeritah Jawa menggantikan sanna; Raja sanna mempunyai saudara perempuan bernama sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan sanjaya.
Dariprasasti Sojomerto dan prasasti Canggal telah daketahui nama tiga orang penguasa di Mdan(Mataram), yaitu Dapunta Selendr,sanna, dan sanjaya. Raja Sanjaya mulai berkuasa di Mdan pada tahun 717 M. Dari cerita parahiyangan dapat diketahui bahwa sena (Raja Sanna) berkuasaselama 7 tahun. Kalau Sanjaya naik takhta pada tahun717 M, maka sanna naik takha sekitar tahun 710 M. Hal ini berarti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abab ke-7 M) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-setidaknya masih ada2 penguasa lagi untuk sampai kepada Daputan Selendra.
Dinasti Sanjaya
Kerajaan Mataram Kuno adalah sebuah kerajaan yang terletak di daerah Jawa Tengah sekarang. Kemungkinan besar berpusat di daerah Jogjakarta atau Magelang sekarang dikarenakan banyaknya peninggalan-peninggalah megah yang ditemukan di kedua daerah ini seperti Candi Prambanan dan Candi Borobudur.
Adapun sumber sejarah yang mendukung eksistensi berdirinya kerajaan Mataram Kuno i ni adalaha berdasarkan Prasasti Canggal yang ditemukan di desa Canggal, sebelah timur Jogjakarta yang berangka tahun 732 M. Sumber lain seperti Kitab atau Carita parahyangan juga menceritakan tentang seorang raja yang bernama Sanna yang memerintah sebuah pulau yang kaya akan emas dan padi, yang tidak lain adalah Pulau Jawa sekarang. Diceritakan pula bahwa raja Sanna menurunkan Takhtanya kepada Sanjaya, yang tidak lain adalah anak adik perempuannya yang bernama Sannaha untuk menggantikannya. Hal ini dikarenakan Raja Sanna tidak memiliki keturunan untuk diwarisi takhta kerajaannya.
Didalam Carita Parahyangan pula diceritakan tentang sejarah Tanah Pasundan serta kekalahan raja Sanna yang diserang oleh Purbasora dari Kerajaan Galuh ( daerah sekitar Cirebon sekarang ) dan memaksanya menyingkir ke daerah Gunung Merapi, Jawa Tengah. Namun pada masa pemerintahan Sanjaya, Kerajaan Galuh berhasil ditaklukan.
Sumber sejarah lainnya yang tidak kalah penting adalah prasasti yang dikeluarkan oleh Dyah Balitong (Rakai Watukura ) yang berisi tentang nama-nama raja dinasti Sanjaya yang pernah memerintah Mataram. Setidaknya ada 12 raja yang pernah memerintah Mataram, nama-nama tersebut antara lain :
1
- Rakai Sri Mataram sang Ratu Sanjaya
- Sri Maharaja Rakai Panangkaran
- Sri Maharaja Rakai Panunggalan
- Sri Maharaja Rakai Warak
- Sri Maharaja Rakai Garung
- Sri Maharaja Rakai Pikatan
- Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
- Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
- Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitong
- Daksa
- Tulodong
- Wawa
Adapun dalam prasasti Mintyarsih atau lebih dikenal dengan prasati Kedu yang berangka tahun 829 Saka ( 907 Masehi ) yang berisi tentang penghadiahan kepada 5 orang patih oleh Dyah Balitong yang telah berjasa besar kepadanya. Disebutkan pula bahwa Rakai Panagkaran pengganti Sanjaya disebut sebagai Wamsatilak Syailendra atau “mustika dinasti Syailendra”.
Namun,sebenarnya dinasty Sanjaya tidak memerintah Mataram secara berurutan melainkan diselingi oleh kepemerintahan Dinasti Syailendra setelah masa Sanjaya, yakni pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Pada masa itu para Syailendra berhasil membujuk Rakai Panangkaran untuk membangun sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara. Bangunan ini tidak lain adalah Candi Kalasan yang berada di desa Klasan disebelah timur Jogjakarta. Setidaknya Dinasti Syailendra berkuasa selama ± 1 abad lamanya yakni dari tahun 750 hingga 850.
Sebenarnya pada saat Dinasti Syailendra berkuasa, para keturunan Sanjaya tidaklah kehilangan kekuasaan sepenuhnya. Walaupun para Syailendra menguasai mayoritas daerah kerajaan Mataram,namun para keturunan Sanjaya masih memiliki kekuasaan atas sebagian kecil Jawa Tengah. Hingga pada akhirnya terjadi perkawinan antara Putri Mahkota Syailendra bernama Pramodhawardani yang menikah dengan seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan. Adapun Pramodhawardani adalah pewaris takhta Kerajaan ayahnya, Samaratungga. Sebenarnya Samaratungga memiliki seorang anak laki-laik bernama Balaputradewa yang merupakan adik dari Pramodhwardani, yang kelak akan menjadi Raja di Tanah Sumatera, Sriwijaya.
Dengan perkawinan Pramodhawardani dan Rakai Pikatan ini maka terjadilah percampuran darah antara Syailendra dan Sanjaya. Pada masa pemerintahan Pramodhwardani dan Rakai Pikatan ini banyak sekali dibangun bangunan-bangunan suci nan megah yang kita kenal sampai sekarang. Pramodhawardani banyak membangun bangunan-bangunan suci bercorak Budha seperti misalnya candi Kamulan (Borobudur). Sementara Rakai Pikatan juga membangun bangunan-bangunan suci bercorak Hindhu seperti Candi Prambanan.
Dinasti Sanjaya Berkuasa Lagi
Rakai Pikatan Turun takhta pada tahun 856 setelah berhasil menghapus kekuasaan Syailendra dan kemungkinan timbulnya kembali keluarga ini telah ia cegah dengan menggempur Balaputradewa (tahun 856 ) dan memaksanya bertahan di bukit Ratu Boko. Rakai Pikatan digantikan oleh Rakai Kayuwangi yang memrintah antara tahun 856 hingga tahun 886. Pada masa pemerintahannya, Rakyat Mataram mengalami kesulitan dikarenakan kekuasaan Syailendra di Jawa Tengah yang membangun dan menghasilkan bangunan-bangunan suci yang maha megah mengakibatkan lemahnya tenaga rakyat dan penghasilan pertanian. Usaha dalam mengutamakan kebesaran raja kini terasa akibatnya yang menekan penghidupan rakyat. Selanjutnya Rakai Kayuwangi digantikan oleh Rakai Watuhumalang yang memerintah dari tahun 886 hingga 910. Kemudian menyusul Dyah Balitong (Rakai Watukura) yang memrintah mulai tahun 898 hingga 910. Pada masa pemerintahannya ia mengeluarkan sebuah prasasti yang memuat nama-nama raja dinasti Sanjaya mulai dari Sanjaya hingga dirinya. Prasasti ini kemudian dikenal dengan nama prasati Balitong. Adapun raja-raja yang memerintah Mataram setelah Dyah Balitong adalah Daksa (910 – 919), Tulodong (919 – 924) dan yang terakhir Wawa (924- 929). Setelah kepemimpinan Wawa, kekuasaan dinasti Sanjaya berakhir dan digantikan dengan dinasti Isyana dengan raja Pertamanya Mpu Sindok.
Dinasti Isyana Dibawah Mpu Sindok
Setelah Wawa turun takhta dan digantikan oleh Mpu Sindok yang merupakan menantu dari Wawa karena pernikahannya dengan putri Wawa, Sri Prameswari. Kekuasaan Dinasti Isyana pun dimulai. Ada sebuah peristiwa penting pada masa pemerintahan Mpu Sindok, yakni pemindahan pusat kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Tidak jelas apa sebabnya kekuasaan dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, namun muncul dua teori yakni : teori pertama, pada masa pemerintahan berpusat di Jawa Tengah, gunung Merapi Meletus dan akhirnya mengahncurkan daerah tersebut, sehingga memaksa pusat kekuasaan dipindahkan ke daerah Jawa Timur. Teori kedua, pusat kekuasaan dipindahkan ke Jawa Timur guna untuk menghindari kemungkinan serangan dari Sriwijaya pada masa itu.
Pada masa pemerintahan Sindok juga terhimpun sebuah kitab suci Agama budha yakni Sang Hyang Kamahayanikan yang berisikan soal-soal ajaran dan ibadah agama budha tantrayana. Namun agama Sindok sebenarnya adalah Hindu Mahayana. Mpu Sindok memerintah mulai dari tahun 929 sampai 947. Pengganti-penggantinya dapat kita ketahui dari prasasti yang dikeluarkan oleh raja Airlangga atau Prasasti Calcutta. Sehabis masa kepemimpinan Sindok digantikan oleh anaknya yang bernama Sri Isyanatunggadewi dengan suaminya Lokapala. Dari perkawinan ini lahirlah raja yang akan menggantikannya yakni Makatuwangsawardana yang digambarkan sebagai “matahari keluarga isyana”. Nantinya juga Makutawangsawardana akan menurunkan seorang anak yakni, Mahendratta ( Gunapriyadharmapatni ) yang amat cantik yang bersuamikan raja Udayana (Dharmodayana Warmadewa) dari keluarga Warmadewa yang berkuasa di Bali.
Dharmawangsa dan Airlangga
Dharmawangsa naik menggantikan pendahulunya Makutawangsawardana. Dalam masa pemerintahannya , kitab Mahabhrata disadur dalam bahasa Jawa kuno. Dari 18 parwa yang ada yang kini sampai kepada kita hanyalah 9 parwa, diantaranya termasuk Adiparwa dan Wirataparwa yang memuat nama raja-raja dan angka tahun 996 serta Bhismaparwa. Juga disusun kitab hukum yang bernama ‘Siwasana” tahun 991. Darmawangsa menyerang Sriwijaya untuk merebut bagiaan selatan wilayah agar dapat menguasai selat sunda yang sangat penting bagi perdagangan India – Indonesia _ Tiongkok (992). Dharmawangsa juga berusaha keras untuk mengadakan hubungan politik dengan Tiongkok pada masa itu. Tercatat pada tahun 988 – 992 seorang Utusan Sriwijaya terpaksa bertahan di Kanton dikarenakan Sriwajaya sedang dalam keadaan perang ( diserang oleh kerajaan dari Jawa, diduga dibawah pimpinan Dhrmawangsa). Keadaan perang yang menutup pintu-pintu Sriwijaya itu dibenarkan oleh seorang Utusan dari Jawa yang singgah di Kanton pada tahun 922. Setelah Dharmawangsa berhasil menduduki Sriwijaya, maka naiklah Sri Sudamaniwarmadewa sebagai raja Sriwijaya yang diduga ada hubungan kekluargaan dengan keluarga Warmadewa di Bali.
Pada tahun 1016 kerajaan Mataram dibawah kekuasaan Dharmawangsa mengalami bahaya besar atau pralaya atau kehancuran akibat serbuan dari Sriwijaya yang sebelumnya telah berhasil meyakinkan seorang raja bawahan Dharmawangsa, Wurawari untuk memberontak dan menyerang Mataram. Dengan bantuan tentara dari Sriwijaya, pasukan pemberontak yang dipimpin Wurawari berhasil menghancurkan Dharmawangsa serta para pembesar istana. Dharmawangsa tewas dalam perang itu, begitupun para pembesar istana, hanya bebrapa orang saja yang berhasil meloloskan diri. Airlangga salah satunya, dengan dikawal oleh Narottama dan mengungsi ke daerah pegunungan Wanokwari. Airlangga merupakan putra sulung dari Udayana (raja Bali ) dan ibunya Mahendratta. Dalam hal ini Airlangga adala kemankan dari Dharmawangsa sebab dahulu Dharmawangsa menikah dengan cucu Sri Isyanatunggawijaya yang tidak lain adalah putri dari Mpu Sindok. Selama 3 tahun Airlangga berlindung di daerah itu, hingga pada tahun 1019 raja Colamandala dari India menyerbu Sriwijaya. Hal ini menyebabkan konsentrasi Tentara didaerah Jawa Timur yang menduduki Mataram ditarik kembali ke Sriwijaya. Melihat kondisi yang menguntungkan ini, Airlangga turun dari pngungsiannya dan kembali ke Ibukota. Ia dinobatkan menjadi raja oleh para pendeta Budha, Siwa dan Brahmana menjadi raja. Namun pada tahun 1023 barulah Airlangga meluaskan daerah kekuasaannya setelah pada tahun yang sama setelah serangan kedua oleh raja Colamandala terhadap Sriwijaya menyebabkan Sriwijaya dalam keadaan yang selemah-lemahnya. Dalam usahanya untuk menutup kemungkinan Sriwijaya menyerang kembali, Airlangga terlebih dahulu mengadakan suatu “gentlemen aggreement”. Dalam perjanjian itu antara Sriwijaya dan Airlangga tidak lagi bermusuhan. Sriwjaya menguasai bagian Barat Indonesia ( diluar kekuasaan Mataram Airlangga ) sedangkan Airlangga berhak menguasai daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dan sekitarnya.
Dalam pemerintahannya Airlangga dibantu oleh pengiku-pengikutnya yang setia, yaitu Narottama dan Niti yang masing masing bergelar rakryan Kanuruhan dan rakryan Kuningan. Ibu kota kerajaan juga sempat di dipindahkan dari daerah Wwatan Mas ke Kahuripan pada tahun 1031. Pelabuhan Hujung Galuh dimuara sungai Brantas diperbaiki, sedangkan Pelabuhan Kambang Putih (Tuban) diberi hak-hak istimewa. Sungai Brantas yang selalu menimbulkan kerusakan akibat banjir diberi sebuah tanggul didaerah Waringin Sapta.
Semasa pemerintahan Airlangga, lahirlah sebuah kitab yang diberi nama “Arjunawiwaha” karya Mpu Kanwa dan disusun buku Undang undang Siwasana yang sampai sekarang masih digunakan di Bali. Airlangga adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Ia memiliki dua orang putra, Samarawijaya dan Mapanji Gerasakan serta seorang putri bernama Kili Suci yang memilih untuk pertapa dan menetap di Pucangan. Sementara itu, kedua putranya sama-sama ingin memperoleh warisan kerajaan. Akhirnya Airlangga meminta nasihat kepada Mpu Bharada , dan akhirnya Mpu Bharada menyatakan bahwa kerajaan Airlangga harus dibagi dua, dengan Gunung Kawi serta sungai Brantas sebagai batasnya.
Maka daerah kekuasaan Airlangga pun dibagilah menjadi dua kerajaan. Bagian barat menjadi kerajaan Panjalu ( Kediri ) dengan ibukotanya Daha, diberikan kepada putranya yang bernama Samarawijaya. Sedangkan kerajaan bagian Timur diberi nama dengan kerajaan Janggala dengan ibukotanya di Kahuripan, diberikan kepada putranya yang bernama Mapanji Gerasakan. Muncullah Panjalu dan Janggala yang dibatasi oleh Gunung Kawi dan Sungai Brantas. Setelah membagi kerajaannya menjadi dua, akhirnya Airlangga memutuskan untuk menjadi pertapa sampai meninggal dan jasadnya dimakamkan di Candi Belahan dan sebagai perwujudannya dibuatkkan sebuah patung Airlangga sebagai Wisnu mengendarai Garuda ( Jatayu ).
0 comments:
Post a Comment